Senin, 12 April 2010

Hukum dan Bahaya Berfatwa tanpa Ilmu


Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimîn rahimahullâh
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullâh ditanya:
Ditemui adanya sebagian orang yang berfatwa tanpa (berdasarkan) ilmu. Bagaimana hukum hal tersebut?
Beliau rahimahullâh menjawab:
Tindakan ini termasuk perkara yang paling berbahaya dan paling besar dosanya. Allah ‘Azza wa Jalla mensejajarkan ucapan tentang Allah tanpa ilmu dengan perbuatan syirik. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Hal ini menyangkut ucapan tentang Allah dalam masalah dzat-Nya, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan ataupun syari’at-Nya. Jadi tidak seorang pun dihalalkan memfatwakan sesuatu sampai dia tahu bahwa hal tersebut adalah syari’at Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka ia harus memiliki kelengkapan (persiapan) dan kemampuan sehingga dengan hal itu ia dapat mengetahui apa-apa yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tatkala itulah ia (boleh) berfatwa.
Seorang mufti (orang yang berfatwa) adalah orang yang berbicara tentang Allah‘Azza wa Jalla dan orang yang menyampaikan tentang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika ia mengucapkan suatu perkataan, sedangkan ia tidak mengetahui atau kurang meyakininya, setelah ia mentelaah, berusaha keras dan memikirkan dalil-dalilnya, bisa jadi orang ini telah mengucapkan tentang Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Ia harus bersiap-siap untuk memperoleh hukuman dari Allah.
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (Al-‘Ankabût: 68)
Syaikh Al-Utsaimin ditanya:
Banyak orang yang berani berfatwa sampai anak kecil pun bisa berfatwa. Lalu bagaimana komentar Anda?
Beliau rahimahullâh menjawab:
Kaum salaf dahulu mereka saling dorong-dorongan (saling menolak) untuk mengeluarkan fatwa lantaran besarnya perkara ini, besarnya tanggung jawab dan lantaran takut mengucapkan tentang Allah tanpa ilmu. Karena mufti (orang yang berfatwa) adalah orang yang menyampaikan tentang Allah dan menjelaskan syari’at-Nya. Jika ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu, maka dia akan terjerumus ke dalam perkara yang merupakan saudara kandung dari perbuatan syirik.
Simaklah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mensejajarkan berkata tentang-Nya tanpa ilmu dengan perbuatan syirik. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isrâ’: 36)
Seseorang seyogyanya tidak terburu-buru dalam berfatwa. Bahkan (yang seharusnya) ia harus menunggu dan menimbang (baik buruknya) serta mengkaji ulang (masalah yang difatwakan). Jika waktunya sempit maka ia bisa melimpahkan masalah tersebut kepada orang yang lebih mengetahui (berilmu) sehingga ia selamat dari berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Jika Allah mengetahui keikhlasan niatnya dan kehendaknya yang baik, maka ia akan sampai pada kedudukan yang ia inginkan dengan fatwa tersebut. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Dia ‘Azza wa Jalla akan memberikan taufiq kepadanya dan meninggikannya.
Orang yang berfatwa tanpa ilmu lebih sesat dibandingkan orang jahil (bodoh). Orang yang bodoh akan menyatakan, “Saya tidak tahu.” Ia mengetahui kapasitas dirinya, ia berpedoman pada kejujuran.
Adapun orang yang mensejajarkan dirinya dengan para alim ulama (lebih dari itu) bahkan menganggap dirinya lebih utama dari mereka, maka ia akan sesat dan menyesatkan. Ia akan berbuat kekeliruan dalam masalah-masalah yang bisa diketahui kekeliruannya oleh penuntut ilmu yang masih yunior sekalipun. Tindakan ini besar sekali kejelekannya dan besar pula bahayanya.
Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya:
Tatkala terluncur suatu pertanyaan yang berhubungan dengan syari’at agama, orang-orang awam saling berlomba, contohnya bila mereka berada di suatu majelis, untuk berfatwa dalam masalah tersebut tanpa dilandasi dengan ilmu. Apa komentar Anda terhadap fenomena ini, apakah tindakan tersebut termasuk mendahului Allah dan Rasul-Nya?
Beliau rahimahullâh menjawab:
Sudah dimaklumi bahwa seseorang tidak diperkenankan bicara tentang agama Allah tanpa ilmu, berdasarkan perintah Allah dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Setiap orang wajib menjauhkan diri dan merasa takut mengatakan tentang Allah tanpa ilmu, sebab hal tersebut bukan termasuk perkara duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya. Jika perkara itu adalah perkara duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya, seseorang sepatutnya menunggu (tidak tergesa-gesa) dan hendaknya memikirkan (terlebih dahulu).
Boleh jadi jawaban yang tersimpan dalam jiwanya akan dijawab oleh orang selainnya sehingga ia seperti layaknya seorang hakim (pembuat keputusan) di antara sekian orang yang menjawab (pertanyaan yang terlontar) sehingga ucapannya adalah ucapan terakhir yang (paling) menentukan. Betapa banyak apa yang diperbincangkan oleh manusia dengan berbagai pandangan mereka -yang saya maksudkan adalah bukan masalah-masalah yang berkenaan dengan syari’at.
Apabila seseorang bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa maka akan tampaklah kebenaran padanya, karena banyaknya pandangan mereka, yang (pandangan-pandangan itu) tidak terlintas di benaknya sebelum itu.
Oleh karena itu saya nasehatkan kepada semua untuk tidak tergesa-gesa dan hendaknya ia menjadi manusia terakhir angkat bicara, agar dia bisa menjadi hakim (pemberi keputusan) di antara pendapat-pendapat yang ada.
Karena akan nampak padanya berbagai pandangan yang berbeda yang belum jelas baginya sebelum ia mendengarkan pendapat-pendapat tersebut. Ini dalam hubungannya dengan urusan dunia, adapun masalah agama, tidak diperbolehkan sama sekali berbicara, kecuali dengan ilmu yang telah ia ketahui dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya atau ucapan-ucapan para ulama.
(Dinukil dari كتاب العلم (Tuntunan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu Syar’i) karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 181-182,193-194,204-205, penerjemah: Abu ‘Abdillah Salim bin Subaid, penerbit: Pustaka Sumayyah Pekalongan, cet. ke-2 Syawwal 1428H/Oktober 2007M, untuk http://akhwat.web.id)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar